Thursday, 19 February 2009

Bali Tourism Watch: Buta Aksara Cermin Kemiskinan Bali

Oleh I Nengah Subadra

Tingginya jumlah orang yang buta aksara di Bali semakin memperkuat pernyataan bahwa Bali yang telah terkenal sebagai daerah tujuan wisata internasional masih miskin. World Tourism Organization (2004) secara jelas mendeskripsikan indikator-indikator kemiskinan antara lain; memiliki penghasilan kurang dari atau sama dengan satu dolar Amerika (±Rp.9.800 ), tingkat pendidikan yang rendah, hilangnya rasa saling mencintai antar sesama ciptaan tuhan (berbudaya), tingkat kesehatan yang buruk, kurangnya kebersihan lingkungan, dan situasi yang tidak aman.

Selama ini kebanyakan masyarakat menilai kemiskinan hanya dari aspek ekonomi saja, sehingga miskin atau tidaknya seseorang hanya dinilai dari harta dan benda yang dimiliki dan banyak atau sedikitnya penghasilan yang diperoleh setiap bulannya. Tetapi ada hal yang jauh lebih penting dibalik itu yang harus diketahui oleh semua anak negeri ini. Kemiskinan dalam bidang pendidikan telah mengarahkan bangsa kita ke dalam keterpurukan yang berimplikasi pada terciptanya sumber daya manusia yang berpenghasilan rendah (low-paid employement) yang secara otomatis akan memiskinkan sumber daya manusia tersebut, terlebih lagi bagi mereka yang sama sekali tidak mengenal huruf (illiterate) akan mengalami kendala yang sangat berat untuk mengisi dan memperjuangkan kehidupannya. Ketidakmampuan dalam membaca dan menulis akan mempengaruhi pengetahuan dan pola pikir seseorang karena sekarang ini kebanyakan informasi, kitab-kitab suci dan ajaran agama lainya, ilmu pengetahuan, dan hasil penelitian didokumentasikan dalam bentuk tulisan seperti buku, surat kabar, majalah, dan jurnal. Untuk menggali informasi-informasi penting tersebut di atas dibutuhkan kemampuan dan keahlian membaca dan menulis sehingga mampu memahami dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Aneh, ironis, dan rasa tidak percaya mungkin yang muncul di sebagian benak masyarakat indonesia atau bakhan internasional. Bali yang terkenal dengan keunikan budayanya, keramahtamahan masyarakatnya, dan keindahan alamnya sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di dunia sejak tahun 1970an dan bahkan sekarang ini dijadikan sebagai penghasil devisa atau pendapatan negara serta penggerak roda perekonomian (Pitana, 1999), ternyata tidak mampu mengentaskan kemiskinan dalam bidang pendidikan. Ini secara jelas mengindikasiakan bahwa pengembangan pendidikan di Bali tidak merata dan adil sehingga tidak semua masyarakat memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Yang terjadi dan dapat dilihat sekarang ini adalah ketidakadilan, hanya orang-orang yang mampu secara ekonomi saja bisa mengenyam pendidikan sampai ke jenjang lebih tinggi sedangkan yang tidak memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa mengenyam pendidikan selamanya. Melihat realitas ini, nampaknya telah ditemukan adanya kemiskinan terstruktur (structural poverty) dalam bidang pendidikan di Bali. Artinya, kondisi seperti ini dipertahankan sedemikian rupa dan sengaja tidak diadakan perubahan atas permasalahan yang ada sehingga bagi yang mampu secara ekonomi akan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya sedangkan yang tidak mampu akan tetap tidak bisa membaca dan menulis (buta huruf). Usaha-usaha yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah hanya memperjuangkan pendidikan untuk kalangan menengah ke atas dan belum banyak menyentuh kalangan menengah ke bawah.

Seruan organisasi pariwisata dunia (World Tourism Organization) untuk mengentaskan kemiskinan terutama dalam bidang pendidikan patut diikuti dan diterapkan oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah provinsi Bali dengan cara membuat dan mengeluarkan serta menerapkan kebijakan baru dalam bidang pendidikan yang lebih berkeadilan yang bertujuan untuk mempersempit dan menghilangkan kesenjangan (barrier) antara kaum kaya dan miskin. Langkah bijak pemerintah daerah tingkat II atau Kabupaten Jembrana merupakan salah satu tindakan yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan (buta aksara) di Bali dengan memberikan pendidikan gratis kepada semua penduduk kabupaten tersebut selama dua belas tahun atau sampai dengan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Seluruh pemerintah daerah tingkat II yang ada di Bali semestinya mengeluarkan kebijakan dan melakukan tindakan pembebasan biaya pendidikan sehingga semua penduduknya dapat mengenyam pendidikan untuk mengurangi jumlah buta huruf dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Bali.

Diterbitkan di Bali Post, Bulan Pebruari 2007

Penulis, dosen di STP Triatma Jaya-Dalung & Alumni PPS Kajian Pariwisata Universitas Udayana.