Oleh I Nengah Subadra
Indonesia sebagai negara kepulauan (±17.000 pulau) yang sangat kaya dengan sumber daya alam semestinya tidak mengalami permasalahan dalam bidang pangan khususnya beras. Beras merupakan salah satu kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan perumahan) yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga ketersediaannya harus dijamin untuk menghidari permasalahan yang lebih kompleks seperti terjadinya kasus busung lapar dan kelaparan.
Usaha yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dengan mengimpor beras dari negara lain dan mengadakan operasi pasar untuk menstabilkan harga beras sama sekali tidak menyentuh dan memecahkan akar permasalahan yang sebenarnya. Usaha-usaha tersebut semestinya hanya dilakukan pada saat dalam keadaan mendesak dan tidak berkepanjangan. Faktanya, pemerintah setiap tahun selalu mengimpor beras dengan alasan untuk memenuhi kuota stok beras nasional. Begitu pula dengan operasi pasar, yang sebenarnya ditujukan untuk menstabilkan harga dan membantu masyarakat miskin yang bukan petani padi sering kali tidak tepat sasaran karena kurang profesionalnya sistem distribusi.
Alih profesi dan fungsi lahan merupakan faktor utama yang menyebabkan kelangkaan beras di daerah-daerah dan terbatasnya stok beras nasional yang terjadi sekarang ini. Keinginan masyarakat untuk bergelut sebagai petani semakin berkurang dari tahun ke tahun. Ini dapat dilihat dari semakin banyaknya masyarakat bekerja di pabrik-pabrik, perkantoran, industri pariwisata, dan pegawai negeri sipil. Bagi mereka, menekuni profesi sebagai petani tidak menjanjikan masa depan yang cerah di masa yang akan datang karena selain pekerjaannya berat mulai dari pengolahan tanah, pemeliharaan sampai dengan panen, juga tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk membantu petani pada saat pasca panen. Sehingga para tengkulak dengan mudah mempermainkan harga gabah dan beras. Harga beras yang melambung sekarang ini (Rp. 6.000/kg) sama sekali tidak dinikmati oleh petani, yang menikmati hanyalah mereka yang bergelut dalam bidang jual-beli beras saja karena mereka biasanya membeli beras petani dengan harga yang sangat murah. Hal ini bisa terjadi karena lemahnya kontrol pemerintah terhadap perdagangan beras. Pejabat pemerintah seperti Bupati dan Gubernur biasanya hanya menampakkan batang hidungnya pada saat papen raya dan tidak pernah tahu dan mencari solusi jeritan dan tangisan para petani yang berkepanjangan. Faktor lain yang menyebabkan petani mendapatkan hasil yang sedikit adalah besarnya beban pengeluaran yang harus ditanggung seperti; ongkos pengolahan tanah, bibit, pestisida, dan pupuk yang harganya mahal. Seandainya saja harga beras yang tinggi tersebut sepenuhnya dinikmati oleh para petani, mungkin kelangkaan beras tidak akan pernah dialami oleh bangsa Indonesia karena petani akan bekerja dengan giat menekuni profesinya yang mulia tersebut demi kesejastraan hidup keluarganya dan anak-anak petani juga tidak perlu lagi berbondong-bondong ke kota untuk mengadu nasib yang tidak jelas.
Alih fungsi lahan secara besar-besaran dari lahan pertanian produktif menjadi bangunan-bangunan untuk kepentingan industri, perkantoran, dan perumahan yang terjadi di hampir seluruh pelosok nusantara merupakan penyebab yang sangat signifikan. Sebagai contoh di Bali, di daerah Panjer dan Renon sekarang hampir tidak lagi ditemukan sawah yang ditanami padi, yang ada dan dapat dilihat hanyalah sawah yang ditanami beton untuk perumahan dan kamar sewaan yang bagi sebagian pemiliknya menganggap lebih menguntungkan daripada ditanami padi yang jauh lebih rumit pemeliharaannya.
Bulog (Badan Urusan Logistik) yang bertanggung jawab penuh terhadap ketersediaan stok beras nasional hanya bisa mengambil jalan pintas untuk menjamian ketersediaan beras dengan cara mengimpor. Semestinya badan ini memaksimalkan penggunaan anggarannya untuk membeli beras petani secara langsung dengan harga yang lebih memihak kepada petani tanpa melalui perantara. Impor beras dan pembelian beras petani melalui perantara sangat rentan dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Akibatnya, sekarang ini tidak sedikit aparat di badan ini sudah diseret ke pengadilan atas penyelewengan yang dilakukan.
Demi kepentingan negara dan jangka panjang, pemerintah harus segera melakukan beberapa tindakan antara lain: (1) menghentikan alih fungsi lahan pertanian sawah dan menindak tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku; (2) membuat strategi pendistribusian hasil pertanian pasca panen sehingga hasil panennya dapat dinikmati oleh petani; dan (3) memaksimalkan pembelian beras petani untuk stok beras nasional, bukan dengan impor!
Diterbitkan di Bali Post, Bulan Pebruari 2007
Penulis, dosen di STP Triatma Jaya-Dalung, Alumni PPS Kajian Pariwisata Universitas Udayana.