Showing posts with label Artikel Pariwisata. Show all posts
Showing posts with label Artikel Pariwisata. Show all posts

Sunday, 22 February 2009

Artikel Pariwisata: Peran Pemerintah dalam Pariwista

Oleh I Nengah Subadra

Sebagai industri perdagangan jasa, kegiatan pariwisata tidak terlepas dari peran serta pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah bertanggung jawab atas empat hal utama yaitu; perencanaan (planning) daerah atau kawasan pariwisata, pembangunan (development) fasilitas utama dan pendukung pariwisata, pengeluaran kebijakan (policy) pariwisata, dan pembuatan dan penegakan peraturan (regulation). Berikut ini adalah penjelasan mengenai peran-peran pemerintah dalam bidang pariwisata tersebut di atas: 
a.Perencanaan Pariwisata
Pariwisata merupakan industri yang memiliki kriteria-kriteria khusus, mengakibatkan dampak positif dan negatif. Untuk memenuhi kriteria khusus tersebut, memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan sehubungan dengan pengembangan pariwisata diperlukan perencanaan pariwisata yang matang. Kesalahan dalam perencanaan akan mengakibatkan munculnya berbagai macam permasalahan dan konflik kepentingan di antara para stakeholders. Masing-masing daerah tujuan wisata memiliki permasalahan yang berbeda dan memerlukan jalan keluar yang berbeda pula.

Dalam pariwisata, perencanaan bertujuan untuk mencapai cita-cita atau tujuan pengembangan pariwisata. Secara garis besar perencanaan pariwisata mencakup beberapa hal penting yaitu: (1) perencanaan pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan berbagai jenis industri yang berkaitan dengan pariwisata, (2) perencanaan penggunaan lahan, (3) perencanaan infrastruktur yang berhubungan dengan jalan, bandar udara, dan keperluan lainnya seperti; listrik, air, pembuangan sampah dan lain-lain, (4) perencanaan pelayanan sosial yang berhubungan dengan penyediaan lapangan pekerjaan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan kesejastraan sosial, dan (5) perencanaan keamanan yang mencakup keamanan internal untuk daerah tujuan wisata dan para wisatawan.

b.Pembangunan Pariwisata
Pembagunan pariwisata umumnya dilakukan oleh sektor swasta terutama pembangunan fasilitas dan jasa pariwisata. Namun, pengadaaan infrastruktur umum seperti jalan, listrik dan air yang berhubungan dengan pengembangan pariwisata terutama untuk proyek-proyek yang berskala besar yang memerlukan dana yang sangat besar seperti pembangunan bandar udara, jalan untuk transportasi darat, proyek penyediaan air bersih, dan proyek pembuangan limbah merupakan tanggung jawab pemerintah. Selain itu, pemerintah juga beperan sebagai penjamin dan pengawas para investor yang menanamkan modalnya dalam bidang pembangunan pariwisata.

c. Kebijakan Pariwisata
Kebijakan merupakan perencanaan jangka panjang yang mencakup tujuan pembangunan pariwisata dan cara atau prosedur pencapaian tujuan tersebut yang dibuat dalam pernyataan-pernyataan formal seperti hukum dan dokumen-dokumen resmi lainya. Kebijakan yang dibuat permerintah harus sepenuhnya dijadikan panduan dan ditaati oleh para stakeholders. Kebijakan-kebijakan yang harus dibuat dalam pariwisata adalah kebijakan yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan hubungan politik terutama politik luar negeri bagi daerah tujuan wisata yang mengandalkan wisatawan manca negara.
 

Umumnya kebijakan pariwisata dimasukkan ke dalam kebijakan ekonomi secara keseluruhan yang kebijakannya mencakup struktur dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kebijakan ekonomi yang harus dibuat sehubungan dengan pembangunan pariwisata adalah kebijakan mengenai ketenagakerjaan, penanaman modal dan keuangan, industri-industri penting untuk mendukung kegiatan pariwisata, dan perdagangan barang dan jasa.

d.Peraturan Pariwisata
Peraturan pemerintah memiliki peran yang sangat penting terutama dalam melindungi wisatawan dan memperkaya atau mempertinggi pengalaman perjalanannya. Peraturan-peraturan penting yang harus dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan tersebut adalah: (1) peraturan perlindungan wisatawan terutama bagi biro perjalanan wisata yang mengharuskan wisatawan untuk membayar uang muka (deposit payment) sebagai jaminan pemesanan jasa seperti akomodasi, tour dan lain-lain; (2) peraturan keamanan kebakaran yang mencakup pengaturan mengenai jumlah minimal lampu yang ada di masing-masing lantai hotel dan alat-alat pendukung keselamatan lainnya; (3) peraturan keamanan makan dan kesehatan yang mengatur mengenai standar kesehatan makanan yang disuguhkan kepada wisatawan; (4) peraturan standar kompetensi pekerja-pekerja yang membutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus seperti seperti pilot, sopir, dan nahkoda.

Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya alam seperti; flora dan fauna yang langka, air, tanah dan udara agar tidak terjadi pencemaran yang dapat mengganggu bahkan merusak suatu ekosistem. Oleh karena itu, penerapan semua peraturan pemerintah dan undang-undang yang berlaku mutlak dilaksanakan oleh pemerintah. 

Sumber:
Subadra, I Nengah. 2006. Ekowisata Hutan Mangrove dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan: Studi Kasus di Mangrove Information Center, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. (tesis) S2 Kajian Pariwisata: Universitas Udayana.

PESAN DARI PENULIS:
 
Para pembaca yang terhormat, saya mengucapkan terima kasih banyak atas kunjungan anda ke website saya. Apabila ada hal-hal yang kurang jelas dan perlu ditanyakan tentang tulisan saya, silahkan KLIK DI SINI untuk menghubungi saya.

Jika anda membutuhkan atrikel lain tentang pariwisata, silahkan KLIK DI SINI untuk mengunduh (download) beberapa artikel yang berkaitan dengan pariwisata dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Sekali lagi, terima kasih atas kunjungan anda. Selamat belajar!

Artikel Pariwisata: Peran Masyarakat dalam Pariwisata

Oleh I Nengah Subadra

Masyarakat merupakan sekelompok orang yang berada di suatu wilayah geografi yang sama dan memanfaatkan sumber daya alam lokal yang ada di sekitarnya. Di negara-negara maju dan berkembang pada umumnya pariwisata dikelola oleh kalangan swasta yang memiliki modal usaha yang besar yang berasal dari luar daerah dan bahkan luar negeri. Sehingga masyarakat lokal yang berada di suatu daerah destinasi pariwisata tidak dapat terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata. Ketidakterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata sering kali menimbulkan opini bahwa masyarakat lokal bukan termasuk stakeholders dari pariwisata dan merupakan kelompok yang termarjinalisasi dari kesempatan bisnis dalam bidang pariwisata.

Pada dasarnya masyarakat lokal memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan budaya yang ada di sekitarnya. Namun mereka tidak memiliki kemampuan secara finansial dan keahlian yang berkualitas untuk mengelolanya atau terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata yang berbasiskan alam dan budaya. Sejak beberapa tahun terakhir ini, potensi-potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal tersebut dimanfaatkan oleh para pengelola wilayah yang dilindungi (protected area) dan pengusaha pariwisata untuk diikutsertakan dalam menjaga kelestarian alam dan biodiversitas yang ada di daerahnya.

Masyarakat lokal harus terlibat secara aktif dalam pengembangan pariwisata. Lebih jauh, pariwisata juga diharapkan memberikan peluang dan akses kepada masyarakat lokal untuk mengembangkan usaha pendukung pariwisata seperti; toko kerajinan, toko cindramata (souvenir), warung makan dan lain-lain agar masyarakat lokalnya memperoleh manfaat ekonomi yang lebih banyak dan secara langsung dari wisatawan yang digunakan untuk meningkatkan kesejastraan dan taraf hidupnya.

Tingkat keterlibatan masyarakat dalam pariwisata sangat berbeda dan ini tergantung dari jenis potensi, pengalaman, pengetahuan dan keahlian yang dimiliki oleh individu atau masyarakat lokal tersebut. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata dapat dilakukan dengan cara:

a. menyewakan tanahnya kepada operator pariwisata untuk dikembangkan sebagai obyek dan daya tarik pariwisata serta turut serta memantau dampak-dampak yang ditimbulkan sehubungan dengan pengembangan pariwisata tersebut;

b. bekerja sebagai karyawan tetap atau paruh waktu di perusahaan operator pariwisata tersebut;

c. menyediakan pelayanan jasa kepada operator pariwisata seperti; pelayanan makanan, transportasi, akomodasi dan panduan berwisata (guiding);

d. membentuk usaha patungan (joint venture) dengan pihak swasta, yang mana masyarakat lokal menyediakan lokasi dan pelayanan jasanya sedangkan pihak swasta menangani masalah pemasaran produk dan manajemen perusahaan;

e. mengembangakan pariwisata secara mandiri dengan mengutamakan pengembangan pariwisata berbasiskan kemasyarakatan (community-based tourism).

Sumber:
Subadra, I Nengah. 2006. “Ekowisata Hutan Mangrove dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan: Studi Kasus di Mangrove Information Center, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar”. (tesis) S2 Kajian Pariwisata: Universitas Udayana.

Artikel Pariwisata: Peran Industri Pariwisata dalam Pariwisata

Oleh I Nengah Subadra

Pariwisata merupakan industri perdagangan jasa yang memiliki mekanisme pengaturan yang kompleks karena mencakup pengaturan pergerakan wisatawan dari negara asalnya, di daerah tujuan wisata hingga kembali ke negara asalnya yang melibatkan berbagai hal seperti; transportasi, penginapan, restoran, pemandu wisata, dan lain-lain. Oleh karena itu, industri pariwisata memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata.

Dalam menjalankan perannya, industri pariwisata harus menerapkan konsep dan peraturan serta panduan yang berlaku dalam pengembangan pariwisata agar mampu mempertahankan dan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan yang nantinya bermuara pada pemberian manfaat ekonomi bagi industri pariwisata dan masyarakat lokal. Industri-industri pariwisata yang sangat berperan dalam pengembangan pariwisata adalah: biro perjalanan wisata, hotel dan restoran. Selain itu juga didukung oleh industri-industri pendukung pariwisata lainnya.

Biro perjalanan wisata merupakan jembatan penghubung antara wisatawan dengan penyedia jasa akomodasi, restoran, operator adventure tour, operator pariwisata dan lain-lain. Umumnya wisatawan menggunakan jasa biro perjalanan wisata dalam menentukan rencana perjalannya (tour itinerary), namun tidak tertutup kemungkinan wisatawan mengatur rencana perjalanannya sendiri. Dalam konteks pengembangan pariwisata, biro perjalanan wisata memiliki beberapa penting antara lain:

a. mendatangkan wisatawan. Ketidaktahuan wisatawan terhadap destinasi yang akan dikunjungi merupakan faktor pendorong utama untuk menggunakan jasa biro perjalanan wisata sebagai pemandunya;

b. meminimalisasi dampak-dampak yang ditimbulkan oleh wisatawan. Biro perjalanan wisata harus memberikan informasi pra perjalanan (pre-tour information), literatur, atau buku panduan lainnya tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berada di destinasi pariwisata untuk menghindari munculnya dampak-dampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan sosial- budaya masyarakat. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan sistem pengaturan jumlah kunjungan wisatawan dalam skala kecil sehingga bisa mengurangi intensitas sentuhan langsung wisatawan dengan alam dan tidak melebihi daya tampung (over-visited) destinasi pariwisata;

c. meminimalisasi dampak-dampak yang disebabkan oleh operator penjual produk pariwisata. Ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para manajer, staf dan karyawan lainnya terhadap pentingnya pelestarian lingkungan dan sosial-budaya masyarakat;

d. menyediakan program pelatihan kepada para manajer, staf dan karyawan lainnya tentang cara berkomunikasi dan menangani wisatawan yang ketika mereka berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sosial-budaya masyarakat;

e. memberikan bantuan dana untuk konservasi alam yang dijadikan sebagai salah satu pruduk atau paket wisata;

f. memberikan peluang kepada masyarakat lokal untuk bekerja sesuai dengan kompetensinya;

g. menyediakan paket-paket wisata yang ramah lingkungan.

Ada empat komponen yang terlibat sebagai penghubung antara wisatawan manca negara dengan obyek pariwisata yaitu; travel agent, outbound tour operator, inbound tour operator dan local service providers. Travel Agent merupakan agen perjalanan wisata yang menawarkan berbagai jenis pelayanan dan paket wisata domestik maupun internasional yang menjual langsung kepada calon wisatawan. Outbound Tour Operator merupakan operator perjalanan wisata yang secara khusus menjual paket wisata yang lengkap (complete tour package) ke luar negeri. Paket wisata, kegiatan wisata, dan jadwal keberangkatan dan kedatangannya sudah terprogram secara matang dan dibuat di dalam satu brosur, pamplet dan website yang berisi tentang semua informasi tentang paket tersebut. Outbound tour operator bekerjasama dengan inbound tour operator yang berada di daerah tujuan wisata yang menangani wisatawan dan menyediakan semua pelayanan paket wisata yang dijualnya. Inbound tour operator merupakan operator tour internasional yang berada di daerah tujuan wisata yang menyediakan semua pelayanan kepada wisatawan mulai dari kedatangan di daerah tujuan wisata yang dikunjungi hingga keberangkatan ke negara asal wisatawan. Local Service Providers merupakan komponen lokal penyedia saranan penunjang pariwisata seperti; akomodasi, transportasi lokal, pemandu wisata lokal, toko kerajinan dan cindramata. Semua komponen lokal ini dikelola berbasiskan kemasyarakatan.

Sumber:
Subadra, I Nengah. 2006. Ekowisata Hutan Mangrove dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan: Studi Kasus di Mangrove Information Center, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. (tesis) S2 Kajian Pariwisata: Universitas Udayana.

Artikel Pariwisata: Pariwisata dan Pertanian

Oleh I Nengah Subadra

Pesatnya pembangunan pariwisata di Bali tidak hanya menimbulkan dampak positif seperti peningkatan pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejasteraan tetapi juga menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran, kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan dan pengalihan fungsi lahan terutama lahan pertanian yang dijadikan sebagai tempat pengembangan fasilitas dan sarana pariwisata seperti hotel, restoran, objek wisata dan lain-lain.

Pengembangan pariwisata di Bali telah berkontribusi banyak terhadap kerusakan dan keseimbangan lingkungan khususnya pembangunan pariwisata yang memanfaatkan lahan pertanian baik lahan basah maupun kering. Di Kawasan Seminyak-Kabupaten Badung, banyak lahan pertanian sawah telah dialihkan fungsinya untuk pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel, villa, bungalow, café, art shop dan lain-lain. Dengan pembangunan sarana-sarana tersebut maka secara otomatis sistem penyaluran atau distribusi air terhalangi oleh beton-beton yang melintang dengan kokoh di wilayah tersebut yang mengakibatkan air tidak bisa mengalir dengan baik ke seluruh areal persawahan. Terhambatnya saluran air di daerah tersebut juga telah mengakibatkan masalah baru “banjir” khususnya pada musim hujan. Air meluap ke permukaan saluran-saluran air yang kecil dan tidak lancar dan tumpah ke jalan. Sistem distribusi air yang dikenal sebagai “subak” dan sawah yang dulunya merupakan sumber penghasilan utama masyarakat setempat akan punah ditelan jaman dan derasnya laju pembangunan pariwisata. Melihat fakta ini, mungkinkah lingkungan, sawah dan subak bisa lestari? Dengan kerusakan ini pula, mungkinkah budaya luhur masyarakat Bali khususnya pertanian bisa Ajeg?

Pemanfaatan lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata juga telah mengakibatkan kesenjangan antara industri pariwisata dengan pertanian. Permasalahan ini dilatarbelakangi oleh tidak seimbangnya pembagian hasil pemanfaatan pertanian untuk kepentingan pariwisata. Kasus pemasangan seng agar nampak berkilau di areal persawahan warga yang terjadi di Ceking-Kabupaten Gianyar merupakan bukti nyata yang menggambarkan ketidakharmonisan hubungan antara petani dan industri pariwisata. Sawah warga yang elok dan indah dijadikan pemandangan bagi sejumlah restoran, café dan hotel, tetapi petani yang memiliki sawah yang indah tersebut tidak mendapatkan keuntungan sehubungan dengan pemanfaatan sawah dan aktivitas pertaniannya sebagai atraksi wisata. Kekesalan petani pemilik sawah tersebut berujung pada pemasangan seng di sawahnya yang mengakibatkan wisatawan mengeluh karena tidak bisa melihat pemandangan yang indah sebagaimana yang dijanjikan.

Contoh lain yang memiliki permasalahan yang hampir sama adalah di objek Desa Wisata Jatiluwih-Kabupaten Tabanan. Keindahan bentang alam persawahan di tempat ini bukan hanya diminati oleh wisatawan domestik dan manca negara, tetapi juga bagi para anggota tim panitia pemilihan warisan alam dan budaya international. Karena keindahannya, Desa Wisata Jatiluwih dinominasikan sebagai salah satu warisan alam dunia (world natural heritage) dan merupakan satu-satunya objek wisata alam yang dinominasikan di Bali. Fakta yang terjadi di lapangan, warga desa setempat dan pemilik sawah tersebut belum mendapatkan hasil dan keuntungan dari kegiatan wisata yang dilakukan di daerahnya. Operator-operator tour yang menjual paket wisata seperti sightseeing, cycling dan trekking di Desa Wisata Jatiluwih secara langsung membawa pemandu wisata (tour guide), keperluan makanan dan minuman dan peralatan kegiatan wisata tersebut dari kantornya masing-masing sehingga masyarakat lokal sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dan sebaliknya masyarakat lokal hanya menerima sisa-sisa sampah dan jejak kaki para wisatawan saja.

Mungkin saja para operator tour yang menjual paket wisata ke objek Desa Wisata Jatiluwih tidak mengetahui bahwa kegiatan pertanian padi sawah yang mencakup pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan memerlukan biaya tinggi. Biaya yang dikeluarkan oleh petani tersebut sama sekali tidak ditanggung oleh para operator tour. Semestinya, para operator tour yang menjual objek Desa Wisata Jatiluwih memberikan insentif kepada para petani agar tetap melakukan aktifitas pertanian dan membantu mengurangi beban biaya yang dikeluarkan petani. Untuk menutupi kekurangan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pertanian, beberapa petani sudah mulai mengembangkan sayapnya ke sektor peternakan ayam. Di sekitar kawasan Desa Wisata Jatiluwih telah tampak dibangun beberapa kandang ayam yang mengurangi keindahan di objek wisata tersebut dan tidak menutup kemungkinan bahwa di seluruh areal persawahan tersebut akan dibagun usaha peternakan ayam juga di masa yang akan datang yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara yang disebabkan oleh bau kotoran ayam tersebut.

World Tourism Organization (WTO) sebenarnya telah menggariskan kebijakan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang menitikberatkan pada tiga hal yaitu keberlanjutan alam, sosial dan budaya, dan ekonomi. Konsep ini secara jelas menjabarkan bahwa pengembangan pariwisata tidak boleh merusak alam, lingkungan, dan lahan terutama lahan pertanian. Agrotourism merupakan model pengembangan pariwisata memiliki keterkaitan yang erat antara pertanian dan pariwisata.

Bagaimana mensinergikan pertanian dengan pariwisata? Pengembangan agrotourism merupakan model pengembangan yang tepat dan melengkapi model pengembagan pariwisata budaya yang dikembangkan sekarang ini di Bali. Agrowisata merupakan pengembangan pariwisata yang berbasis pertanian, baik pemanfaatan aktivitas pertanian seperti membajak, menanam padi dan memanen sebagai objek wisata, daya tarik wisata dan atraksi wisata maupun pemanfaatan hasil-hasil pertanian seperti beras, sayur dan buah untuk keperluan industri pariwisata seperti hotel dan restoran di suatu daerah tujuan wisata. Bagus Agrowisata di Plaga-Kabupaten Badung, merupakan salah satu contoh objek agrowisata yang memanfaatkan kegiatan pertanian organik sebagai daya tarik wisatanya. Wisatawan secara langsung bisa melihat beraneka ragam tanaman (sayuran dan buah) dan aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat lokal di tempat tersebut. Selain itu, wisatawan juga bisa memetik buah-buahan secara langsung di sekitar areal Bagus Agrowisata sambil melihat pemandangan perbukitan yang indah dan menakjubkan. Sedangkan hasil pertaniannya digunakan untuk kepentingan hotel dan restoran yang secara khusus menjual makanan organik yang merupakan makanan sehat dan menjadi trend bagi kalangan wisatawan baik wisatawan domestik maupun manca negara.

Tidak semua pengembangan agrowisata bisa berjalan dengan baik. Agrotourism di Sibetan-Kabupaten Karangasem yang memanfaatkan kegiatan dan hasil pertanian salak-yang merupakan icon buah Bali sebagai objek dan daya tarik wisatanya tidak beroperasi sebagaimana yang direncanakan. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan pengelolaan agrowisata di tempat ini. Ketidakjelasan manajemen pengelolaan merupakan faktor utama. Objek agrowisata ini tidak dikelola dengan baik mulai dari penataan areal yang dijadikan objek, operasional kegiatan tour, dan sumber daya manusia. Faktor lain adalah pemasaran. Objek Agrowisata Sibeten belum dipasarkan secara maksimal oleh manajeman pengelolanya sehingga belum banyak dikenal oleh para operator tour yang menjual paket-paket wisata di Bali. Pemerintah khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Karangasem semestinya mempetakan kembali objek-objek wisata yang ada di wilayahnya dan selanjutnya mempromosikan melalui media masa, televisi, internet dan media publikasi lainnya. Selain manajemen dan pemasaran, kerjasama antar stakeholder pariwisata (pemerintah, LSM, masyarakat lokal, industri pariwisata, dan akademisi) belum berjalan dengan baik karena hanya travel agent yang menjual paket wisata ke daerah Timur Bali saja yang berjalan sendiri-sendiri tanpa ada dukungan dari stakeholder pariwisata yang lainnya.

Kesimpulannya, pertanian sangat memungkinkan untuk disenergikan dengan pariwisata yang diwujudkan dalam pengembangan agrowisata. Perlu adanya komitmen dari seluruh stakeholder pariwisata untuk bersama-sama menerapkan kosep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau di Bali sering disebut sebagai Ajeg Bali yaitu keberlanjutan sumber daya alam, sosial-budaya, dan pemberian manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal.


Artikel Pariwisata: Penentu Keberhasilan Pariwisata

Oleh I Nengah Subadra

Hasil studi banding yang tidak berujung pangkal “saru geremeng” yang dilakukan oleh beberapa anggota dewan ke luar negeri (Inggris) beberapa minggu yang lalu memang sangat perlu dipertanyakan karena apa yang dicari pada lawatan tersebut tidaklah menjawab persoalan-persoalan pariwisata Bali yang sebenarnya. Lemahnya kemampuan dan pengetahuan dalam bidang pariwisata orang yang melakukan promosi tersebut telah dengan mudah menjastifikasi bahwa promosilah yang dianggap paling penting dalam mengenalan dan penarikan minat para calon wisatawan untuk datang dan mengunjungi Pulau Bali. Sebenarnya opini itu sama sekali tidak benar dan tidak masuk akal karena masih ada banyak faktor penentu keberhasilan pariwisata Bali. Sudah adakah pengidentifikasian awal tentang apa yang harus dipromosikan dan bagaimana cara serta strategi yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil promosi pariwisata yang maksimal?

Promosi merupakan salah satu bagian dari bauran pemasaran pariwisata sehingga dalam kegiatan pariwisata promosi tidak bisa berjalan sendiri dan terpisah dari indikator-indikator bauran pemasaran pariwisata yang lainnya. Secara keseluruhan bauran promosi pariwisata mencakup produk (product), harga (price), promosi (promotion), sistem distibusi (place), kerjasama (partnership), pengemasan paket wisata (packaging), program kegiatan wisata (programming), penampilan objek subjek pariwisata (performance), dan sumber daya manusia (people). Seluruh indikator bauran pemasaran pariwisata tersebut harus bersinergi dalam kegiatan pariwisata agar memperoleh hasil pemasaran pariwisata yang optimal.

Tindakan promosi harus berdasarkan pada analisis terhadap situasi dan permintaan pasar terkini. Ini berarti bahwa promosi yang dilakukan harus berdasarkan hasil analisis data penelitian tentang segmentasi pasar pariwisata, bukan merupakan pendapat dan perasaan penguasa atau pemegang yang memandang perlu atau tidaknya diadakan promosi. Apa dasar pengadaan promosi anggota dewan tersebut? Mengingat promosi sangat penting dalam pemasaran pariwisata, maka penelitian tentang promosi pariwisata harus dilakukan secara berkelanjutan sebelum, selama dan setelah promosi sehingga dapat dilihat efektivitas promosi yang telah dilakukan. Hasil penelitian ini dipergunakan untuk menentukan target audensi atau calon wisatawa, mengetahui informasi-informasi pariwisata yang dibutuhkan oleh para wisatawan, dan mengevaluasi keberhasilan promosi yang sedang dilakukan dan setelah selesai dilakukan. Punyakah Bali tenaga-tenaga ahli yang handal untuk melakukan penelitian ini? Sudahkah para ahli tersebut dilibatkan dalam pembangunan pariwisata Bali?

Promosi pariwisata yang efektif mencakup pengidentifikasian target calon wisatawan yang akan dicapai, pengidentifikasian tujuan komunikasi yang akan dicapai, formulasi bentuk pesan dan informasi pariwisata untuk mencapai tujuan, pilihan media untuk menyampaikan pesan dan informasi secara efektif kepada calon wisatawan yang dituju, alokasi anggaran untuk mencapai produksi dan penyampaian pesan, dan evaluasi mekanisme penjualan jasa dan produk-produk pariwisata.

Lebih parahnya lagi, Dinas Pariwisata Provinsi Bali dan Badan Pariwisata Bali (Bali Tourism Board) yang diharapkan mampu bekerja secara holistik untuk menangani masalah dan mencari solusi permasalahan pariwisata di Bali yang semata-mata untuk keberlanjutan pariwisata Bali ternyata hanya mampu bekerja secara parsial. Usaha-usaha yang dilakukan selama ini hanya terfokus untuk mendatangkan wisatawan dengan cara mengadakan promosi wisata dan pemberian penghargaan kepada hotel yang menerapkan konsep Tri Hita Karana, dan mempertahankan citra Bali sebagai destinasi wisata terbaik. Sedangkan usaha-usaha pelestarian potensi pariwisata utama (keunikan budaya, keindahan alam dan keramah tamahan masyarakat) yang dimiliki Bali nyaris tak tersentuh dan terkesan dibiarkan begitu saja. Pada kenyataannya, belum ada usaha yang signifikan yang dilakukan pada indikator bauran pemaasaran lainya yang merupakan idikator terpenting untuk keberlanjutan pariwisata Bali seperti; memperbaiki dan melestarikan objek dan daya tarik wisata, penataan kawasan wisata, pendataan secara berkala fasilitas pariwisata (hotel, vila, bungalow, dan restoran) dan pembinaan terhadap sumber daya manusia dan pengelola objek wisata nyaris terlupakan.

Seharusnya pemerintah dan badan pariwisata ini bekerja dari tingkat bawah mulai dari penataan objek-objek wisata secara fisik agar keindahan dan kebersihannya terjamin sehingga nyaman untuk dikunjungi, memberikan pelatihan pengelolaan objek wisata agar siap dalam menerima kunjungan wisatawan, dan yang tak kalah pentingnya adalah promosi pariwisata.

Kesimpulannya, sehebat apapun tim promosi pariwisata tidak akan mampu mendatangkan wisatawan ke Bali tanpa dibarengi dengan perubahan-perubahan bdan penyelamatan serta penataan sumber daya alam dan budaya yang dijadikan daya tarik wisata, objek wisata dan kawasan wisata agar terlihat lebih menarik dan pengeloalaanya lebih profesional sehingga mampu bersaing dengan destinasi-destinasi pariwisata lainnya di dunia.

Artikel Pariwisata: Peran Perempuan dalam Pariwisata

Oleh I Nengah Subadra

Latar belakang yang memotivasi munculnya gerakan feminimisme adalah karena terjadinya penerapan sistem patriarki yaitu suatu sistem yang menyatakan bahwa pria memiliki kedudukan (position) yang lebih tinggi dan kekuasaan (authority) yang lebih luas dari pada perempuan dan bahkan kaum perempuan dianggap sebagai kelompok lain (the other) dalam suatu keluarga. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan yang sangat dalam antara kaum pria dan perempuan. Sehingga sistem patriarki ini sering kali menjadikan kaum perempuan merasa tertindas dan tersisihkan bahkan tidak berdaya sama sekali. Selain itu, besarnya tuntutan ekonomi dan biaya hidup di kota-kota besar khususnya yang berada di suatu daerah tujuan wisata memaksa suatu keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengeluaran dengan melibatkan perempuan (istri) dalam upaya untuk mendapatkan penghasilan tambahan untuk meringankan beban dan tugas utama lelaki (suami) sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas rumah tangganya.

Perbaikan keadaan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup memicu perubahan pola pikir masyarakat sekarang untuk memberikan kesempatan kepada semua anaknya untuk mengenyam pendidikan tanpa membedakan jenis kelamin. Pemerintah juga memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menempuh pendidikan sampai dengan minimal Sekolah Menengah Pertama (SMP). Program pemerintah ini dikenal dengan wajib belajar sembilan tahun. Bagi orang tua yang mampu, mereka akan melanjutkan sekolah anaknya sampai dengan Sekolah Menegah Atas (SMA) dan beberapa dari mereka melanjutkan sekolahnya ke peruruan tinggi. Sekolah dan perguruan tinggi memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam memilih program studi sesuai dengan bakat dan ketertarikannya. Kebijakan ini merupakan bukti keseriusan pemerintah untuk mendorong terus gerakan fenimisme di Indonesia guna meneruskan perjuangan mulia Raden Ajeng Kartini yaitu mendobrak ketertidasan perempuan.

Dengan gerakan feminimisme ini, sekarang kaum perempuan sudah memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai hal seperti dalam memperoleh pekerjaan, pendidikan, pembagian warisan, dan lain-lain. Sebagai contoh dalam bidang pekerjaan, secara umum sekarang ini jumlah perempuan yang bekerja sebagai pekerja yang menghasilkan uang (paid worker) dalam berbagai sektor semakin meningkat jumlahnya khususnya yang bekerja di industri pariwisata. Walaupun mereka bekerja sebagai pekerja tetap (permanent worker), pekerja harian (daily worker), pekerja kontrakan/sementara (temporary worker) dan pekerja paruh waktu (part-time worker) namun keadaan ini setidaknya menunjukan secara jelas bahwa kaum perempuan telah memiliki peran atau andil dalam pembangunan dalam era globalisasi ini.

Selain berperan sebagai pekerja yang dibayar di berbagai industri pariwisata, perempuan Bali juga berfungsi sebagai unpaid worker untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tambahan (extended jobs) di luar jam kerjanya seperti memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah dan lain-lain di rumahnya. Ketika berada di rumah, perempuan Bali kembali ke fungsinya (nature of woman) yaitu sebagai ibu rumah tangga yang berkewajiban melaksanakan tugas tersebut di atas dan juga tugas-tugas yang berhubungan dengan kegiataan keagamaan, adat dan sosial budaya khususnya bagi perempuan yang sudah berkeluarga. Di samping sebagai paid worker dan unpaid worker perempuan Bali harus melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kodratnya seperti melahirkan bayi dan menyusui anak. Berdasarkan jenis pekerjaan yang harus dikerjakan oleh para perempuan maka patut diacungi jempol kegigihan dan ketangguhan perempuan-perempuan Bali kini.

Karena kemapuan, profesioanlisme, keahlian dan pengalamannya, perempuan Bali kini mampu menempati berbagai posisi di industri-industri pariwisata di Bali. Di hotel misalnya, perempuan Bali umumnya menduduki posisi sebagai staf penjualan dan pemasaran, receptionist, room-maid, florist, public relation, spa therapist dan beberapa di antaranya menduduki posisi supervisor dan manager. Sedangkan di restoran, perempuan Bali biasanya bekerja sebagai waitress, cook dan chef. Di Biro Perjalanan Wisata, perempuan Bali umumnya bekerja sebagai staf reservation, cashier, sales and marketing, dan pemandu wisata. Seiring dengan berkembangnya waktu dan semakin meningkatnya keberanian perempuan Bali, sekarang ini sudah banyak dari mereka yang bekerja di kapal-kapal pesiar internasional yang umumya berlayar mengarungi perairan Asia dan Eropa.

Gerakan fenimisme dan hasil perjuangannya telah mampu menyetarakan diri dengan kaum pria juga telah tersurat secara jelas dalam filosofi agama Hindu yakni sistem “warna” (menghargai dan menghormati seseorang berdasarkan profesi yang digeluti dan tidak membedakan jenis kelamin serta gelar yang melekat pada dirinya tidak diwariskan ke generasi berikutnya). Artinya, seorang perempuan berhak untuk menduduki posisi apapun di suatu perusahaan sesuai dengan kompetensinya (pengetahuan, keahlian dan prilaku) dan perempuan tersebut harus dihormati posisinya sesuai dengan jabatan yang dipegang dan tugas yang diemban. Konsep ini sangat bertentangan dengan sistem kasta (menghormati seseorang berdasarkan garis keturunan dan gelar yang melekat pada dirinya diturunkan ke generasi berikutnya walaupun memiliki profesi yang berbeda dengan generasi pendahulunya).

Konsep dan pandangan post-modernism yang intinya menghargai perbedaan dan sama sekali tidak mempertentangkan perbedaan terutama jenis kelamin dalam pekerjaan juga membuka peluang yang luas bagi para perempuan untuk terus berjuang dan menyetarakan diri dalam berbagai posisi di industri pariwisata di Bali. Para penganut paham postmodernism memandang bahwa karena perbedaanlah sesuatu itu ada dan dibiarkan berkembang apa adanya serta tidak saling mencampuri satu sama lainya. Maju terus gerakan feminisme!


Thursday, 19 February 2009

Artikel Pariwisata: Kualitas SDM Pariwisata Bali Lemah, Keterlibatannyapun Kurang

Oleh I Nengah Subadra

Pariwisata merupakan industri peradagangan jasa yang dalam kegiatannya semata-mata menjual jasa karena produknya bersifat perishable (hanya dapat dikonsumsi dan dinikmati pada saat berada di suatu tempat) dan sangat berbeda dengan produk perdagangan komesial lainnya yang barangnya bisa dibawa pulang setelah transaksi jual-beli.

Pelayanan merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam industri pariwisata dan merupakan salah satu tuntutan wisatawan pada saat melakukan kegiatan menghabiskan waktu luang untuk perjalanan wisata. Untuk memberikan jaminan pelayanan yang memuasakan kepada wisatawan diperlukan penyediaan sumber daya manusia (human resource) yang berkompetensi, berkualitas, professional, dan berstandar internasional.

Pada kenyataannya sumber daya manusia pariwisata Bali khususnya orang-orang Bali belum memiliki kualifikasi yang sesuai dengan permintaan wisatawan. Ini dapat dilihat dengan jelas di kebanyakan industri pariwisata yang mana orang-orang Bali hanya menduduki posisi-posisi sebagai front liner yang memiliki pekerjaan yang cukup berat namun mendapatkan penghasilan yang jauh lebih sedikit daripada posisi-posisi di tingkat manajer (managerial position) yang umumnya dipegang oleh orang-orang dari luar Bali dan bahkan luar negeri.

Ada dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya realitas ini yaitu: pertama, pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah pariwisata dari tingkat SMK sampai Diploma atau Program Setara Diploma adalah lembaga pendidikan yang mendidik sumber daya manusia untuk menjadi pekerja pariwisata yang berkompetensi (memiliki pengetahuan, keahlian, dan prilaku), namun sayangnya pendidikan dan pelatihan yang diberikan ditujukan untuk posisi-posisi kelas bawah seperti; waiter, waitress, cook, bellboy, room attendant, engineer, dan lain-lain.

Marak dan menjamurnya sekolah-sekolah menengah kejuruan pariwisata dan lembaga pendidikan yang memberikan pelatihan setingkat Diploma I memang dapat membantu mengurangi jumlah pengangguran karena setelah tamat mereka mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan sejumlah uang. Tetapi jika dilihat dari posisi yang didapat di tempatnya bekerja dan ditelusuri lebih jauh, maka secara tidak langsung telah turut serta berkontribusi terhadap penciptaan kemiskinan yang terstruktur (structural poverty) karena penghasilan yang diperoleh biasanya hanya cukup untuk makan, transportasi, dan menyewa rumah atau kamar. Sehingga uang yang diperoleh tidak bisa lagi dialokasikan untuk meningkatkan kesejastraannya dan menjamin kehidupannya kelak.

Faktor kedua adalah adat dan budaya. Keanekaragaman adat dan budaya yang dimiliki Bali bukan hanya sebagai peluang (opportunity) tetapi juga sebagai ancaman (threat). Kegiatan keagamaan dan adat istiadat yang merupakan bagian dari budaya Bali merupakan faktor penghambat majunya sumber daya manusia Bali di industri pariwisata jika tidak disikapi dengan baik dan diadakan penyesuaian terhadap awig-awig (kesepakatan yang dijadikan oleh anggota desa adat). Kewajiban untuk mengikuti kegiatan keagamaan dan adat merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh setiap orang Bali karena mereka sebagai masyarakat sosial yang terikat dengan adat istiadat di desa asalnya. Melihat kondisi ini maka sangat tidak mungkin bagi orang Bali untuk bisa bekerja secara profesional sesuai dengan tuntutan industri pariwisata. Sedangkan sumber daya manusia luar Bali yang bekerja di industri pariwisata sangat siap untuk bekerja secara profesional karena mereka tidak dituntut dan melaksanakan kewajiban sebagaimana layaknya sumber daya manusia Bali.

Banyak peran yang bisa dimainkan masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Masyarakat lokal semestinya dilibatkan dalam proses perencanaan, pembangunan, pengawasan, dan pengevaluasian pariwisata. Namun usaha pelibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata mengalami kendala-kendala dalam penerapannya, karena: (1) sumber daya masyarakat lokal kurang dan bahkan tidak mengetahui visi pembangunan pariwisata secara jelas; (2) rendahnya minat dan kesadaran (awareness) sumber daya masyarakat lokal terhadap pentingnya pariwisata; (3) rendahnya kemampuan sumber daya masyarakat lokal dalam bidang kepariwisataan; (4) kesenjangan budaya (cultural barrier) antara sumber daya masyarakat lokal dan wisatawan; (5) sumber daya masyarakat lokal tidak memiliki kemampuan ekonomi dan investasi. Faktor-faktor inilah yang menjadikan masyarakat lokal hanya menjadi obyek dan penonton saja dan bukan sebagai subyek atau pelaku pariwisata.

Masalah-masalah tersebut hanya dapat diatasi dengan pemberian pendidikan dan pelatihan yang cukup atau memadai kepada masyarakat lokal agar memiliki pengetahuan yang lebih luas dan mengglobal. Ini merupakan “PR” dan tantangan yang sangat berat bagi pemerintah dan para pendidik baik itu pendidik di pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi agar mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkompetensi internasional.

Penulis, dosen di STP Triatma Jaya, Dalung-Bali

Diterbitkan di Bali Post 2 April 2007

Artikel Pariwisata: Penyelamatan Hutan Mangrove Jawaban ”Global Warming”

Oleh I Nengah Subadra

DI Indonesia, laju kerusakan hutan mencapai 2,8 juta hektar per tahun dari total luas hutan yaitu seluas 120 juta hektar yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Dari total luas hutan tersebut, sekitar 57 sampai 60 juta hektar sudah mengalami degradasi dan kerusakan sehingga sekarang ini Indonesia hanya memiliki hutan yang dalam keadaan baik kira-kira seluas 50% dari total luas yang ada. Kondisi semacam ini apabila tidak disikapi dengan arif dan segera dilakukan upaya-upaya penyelamatan oleh pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia maka dalam jangka waktu dua dasawarsa Indonesia akan sudah tidak memiliki hutan lagi (Mangrove Information Center, 2006).

———————

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25% dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar). Sedangkan di Indonesia hutan mangrove seluas 4,5 juta hektar atau sebanyak 3,8% dari total luas hutan secara keseluruhan. Sedikitnya luas hutan mangrove ini mengakibatkan perhatian pemerintah Indonesia terhadap hutan mangrove sangat sedikit juga, dibandingkan dengan hutan darat. Kondisi hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang hampir sama dengan keadaan hutan-hutan lainnya di Indonesia (Mangrove Information Center, 2006).

Penebangan hutan, baik hutan darat maupun hutan mangrove secara berlebihan tidak hanya mengakibatkan berkurangnnya daerah resapan air, abrasi, dan bencana alam seperti erosi dan banjir tetapi juga mengakibatkan hilangnya pusat sirkulasi dan pembentukan gas karbon dioksida (CO2) dan oksigen O2 yang diperlukan manusia untuk kelangsungan hidupnya.

Kebanyakan orang (khususnya para pengusaha yang memperjualbelikan hasil kayu hutan, investor yang mengembangkan usahanya dengan menebang hutan dan digantikan dengan tanaman lainnya seperti kelapa sawit atau menggantinya dengan usaha lain seperti tambak, dan oknum pejabat yang mengeluarkan izin untuk penebangan kayu di hutan) menutup mata dan sama sekali tidak merasa bersalah dan berdosa terhadap bencana-bencana alam yang sudah, sedang dan akan terjadi sehubungan dengan kegiatan yang mereka lakukan. Rendahnya kepedulian dan kesadaran terhadap lingkungan mereka harus ditingkatkan secara khusus di era yang sedang gencar-gencarnya membicarakan tentang global warming. Karena model pendidikan lingkungan yang biasanya dilakukan sudah tidak mampu lagi untuk menyadarkan manusia-manusia serakah tersebut yang cenderung mengorbankan kepentingan orang banyak demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Dapat diyakini bahwa mereka memiliki kontribusi yang banyak terhadap global warming yang terjadi sekarang ini, sehingga mereka sepantasnya mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya. Berani dan mampukah aparat penegak hukum di Indonesia untuk menindak tegas para oknum ini demi keselamatan dan keberlangsungan alam serta kepentingan dan kelangsungan hidup manusia di Indonesia dan dunia?

Pembabatan Besar-besaran

Fakta kerusakan hutan khususnya mangrove dapat dilihat dengan jelas di Bali. Pembabatan hutan mangrove secara besar-besaran mulai dari Desa Pesanggaran sampai dengan Desa Pemogan (perbatasan antara Kota Denpasar dan Kabupaten Badung) yang dilakukan sebelum tahun 1990-an oleh investor. Investor tersebut bergerak dalam bidang usaha tambak udang yang telah mengakibatkan berkurangnya luas area hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakt lokal. Tetapi, setelah beberapa tahun beroperasi, tambak-tambak tersebut mulai mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha pertambakan.

Hengkangnya para investor tambak udang tersebut meninggalkan bekas dan luka yang mendalam dan berkepanjangan bagi lingkungan di tempat tersebut sampai sekarang. Pohon mangrove pun tidak bisa tumbuh lagi khususnya di tempat-tempat pemberian makanan udang karena kerasnya bahan kimia yang dipakai untuk membesarkan udang secara instan. Sedangkan investor sudah menghilang entah kemana.

Menyikapi fenomena tersebut, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan mengeluarkan beberapa kebijakan yang diharapkan mampu menyelamatkan kekayaan alam berupa hutan tropis yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu kebijakannya adalah tentang upaya penyelamatan hutan mangrove yang selanjutnya pada tahun 1992 dibentuk Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center).

Usaha reboisasi hutan mangrove yang telah dilakukan oleh The Mangrove Information Center memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Sebab, persediaan untuk konsumsi oksigen sudah tersedia di tempat ini dan meningkatkan rasa aman dari bencana tsunami bagi masyarakat yang berdekatan dengan hutan mangrove tersebut. Selain itu, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pelestarian hutan mangrove semakin meningkat. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya sekolah (dari SD sampai perguruan tinggi) dan industri pariwisata secara sukarela untuk ikut serta menanam pohon mangrove di beberapa tempat seperti di kawasan konservasi The Mangrove Information Center dan Pulau Serangan yang bibit-bibit pohon mangrovenya disediakan oleh pihak The Mangrove Information Center. Usaha lain yang dilakukan oleh The Mangrove Information Center untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan adalah dengan membuka kegiatan wisata alam sehingga masyarakat dapat melihat, menikmati dan berinteraksi dengan lingkungan secara langsung di kawasan hutan mangrove tersebut.

Penulis, dosen di AKPAR Triatmajaya-Dalung, alumni PPS Kajian Pariwisata Universitas Udayana

Diterbitkan oleh Harian Umum Bali Post, Hari Kamis, 22 November 2007

Artikel Pariwisata: Kerasnya Tekanan terhadap Coastal Zone Dibalik Gemerlapnya Pariwisata di Bali

Oleh I Nengah Subadra

Pesatnya pertumbuhan pembangunan untuk kepentingan perumahan dan industri khususnya industri pariwisata hotel, villa, bungalow, dan sarana kegiatan olah raga air di hampir semua kawasan pesisir di Bali telah mengakibatkan tekanan-tekanan terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat, sumber daya alam (air, udara dan tanah), dan ekosistem yang ada di sekitarnya.

Kehidupan sosial-budaya masyarakat sudah semakin terkikis seiring dengan derasnya laju pembangunan pariwisata. Budaya-budaya asli (indigenous cultures) masyarakat yang hidup di sepanjang kawasan pesisir di hampir seluruh pelosok Bali seperti nelayan, pembuat garam, pencari kerang dan batu kerang, serta petani rumput laut sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena dianggap kurang menjajikan kesejastraan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari manisnya kata “pariwisata” yang beriming-iming dolar. Namun tanpa mereka sadari bahwa pariwisata secara perlahan telah merubah pola, gaya, dan prilaku hidupnya sehingga sering kali terjerumus ke dalam “noda hitam” pariwisata.

Fakta
Hilangnya keaslian pantai di Pantai Sanur (dari Pantai Matahari Terbit sampai dengan Pantai Mertasari) merupakan contoh nyata dari rusaknya sumber daya alam pesisir pantai. Contoh lain adalah abrasi yang terjadi di Pantai Lebih, Gianyar yang air lautnya sudah mengancam keberadaan tempat-tempat makan lesehan yang berada di sepanjang garis pantai.

Selain kerusakan pantai, daerah pesisir juga sangat rentan dengan pencemaran air yang diakibatkan karena pembuangan sapah secara sembarangan di sungai-sungai yang secara langsung bermuara di pantai atau laut. Sungai yang melewati Kawasan Mangrove Information Center merupakan salah satu sungai yang langsung bermuara ke laut. Di tempat ini terdapat tumpukan berbagai jenis sampah yang dibuang secara sembarangan dari hului sungai. Tumpukan sampah tersebut tidak hanya mencemari air tetapi juga menutupi akar-akar pohon mangrove dipergunakan sebagai alat pernafasan sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan penyebaran pohon tersebut. Pencemaran serupa juga terjadi di sungai yang terletak di ujung Pantai Mertasari, Sanur. Sampah-sampah organik dan non organik secara langsung dibuang ke laut tanpa melalui proses penyaringan sehingga mengakibatkan terganggunya aktivitas masyarkat yang sedang berlibur dan berenang di kawasan tersebut.

Faktor Utama dan Pendukung
Tekanan terhadap zona pesisir umumnya disebabkan oleh beberapa hal antara lain; pergantian jenis dan penambahan jumlah populasi, peningkatan arus urbanisasi, peningkatan jumlah penduduk lokal, serta invasi yang dilakukan oleh para penanam modal (investor). Seiring dengan pesatnya pertumbuhan industri khususnya pariwisata di Bali yang sebagian besar objek wisatanya menawarkan keindahan alam pantai dan aktivitas wisata yang berhubungan dengan laut atau pantai, maka semakin banyak peluang kerja dan sumber mata pencaharian yang tercipta dan tersedia di sekitar kawasan pesisir yang dijadikan sebagai objek-objek wisata. Hal ini mengakibatkan banyak orang datang ke kawasan industri pariwisata untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya untuk menggapai masa depan yang lebih menjanjikan. Pertambahan jumlah penduduk inilah yang mengakibatkan semakin kerasnya tekanan fisik maupun non fisik di kawasan pesisir.

Tekanan fisik yang terjadi adalah pengalihan fungsi lahan untuk kepentingan pemukiman bagi masyarakat lokal dan para penduduk pendatang. Selain itu, terjadi pula penggalian sumber mata air yang menggunakan sumur bor yang mengakibatkan semakin bertambahnya lubang-lubang pada perut bumi ini. Tekanan non fisik yang terjadi adalah persaingan dalam bidang pendidikan dan pekerjaan antara penduduk asli dengan pendatang. Fakta yang terjadi di lapangan, sebagian besar penduduk lokal di kawasan pesisir pantai terhimpit oleh masyarakat pendatang karena mereka kurang siap dalam berkompetisi untuk mencari pekerjaan di industri pariwisata yang ada di sekitarnya.

Lemahnya kompetensi (skill, knowledge dan attitude) masyarakat lokal dimanfaatkan oleh para penanam modal yang tertarik untuk berinvestasi dalam bidang industri pariwisata. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa investor adalah pahlawan pembangunan. Tetapi, jika ditelusuri lebih jauh maka investor adalah sama dengan pisau, bisa dijadikan sebagai senjata untuk mengamankan dan melindungi diri tetapi bisa juga dipakai untuk membunuh diri sendiri. Kasus “Loloan” yang terjadi di kawasan pesisir di salah satu wilayah Kabupaten Badung pada tahun 2007 merupakan bukti nyata yang mengisyaratkan bahwa investor tidak selalu memihak kepada masyarakat yang bermukim di kawasan pesisir. Secara nyata tempat tersebut dijadikan sebagai tempat untuk kepentingan upacara bagi pemeluk Agama Hindu yaitu “melasti” namun dengan seribu cara investor mampu mengalihfungsikan lahan tersebut untuk kepentingan bisnis investor tersebut. Konflik sosial dan budayapun terjadi, bahkan lingkungan menjadi rusak. Siapa yang bertanggung jawab untuk memecahkan masalah yang pelik ini?

Faktor-faktor lain yang turut berkontribusi terhadap tertekannya daerah pesisir adalah kebijakan pemerintah dan persaingan antara industri pariwisata dan perikanan. Kebijakan pemerintah yang lebih cendrung mendukung perkembangan industri pariwisata dari pada perikanan dan kelautan telah mengakibatkan kerdilnya pertumbuhan perekonomian masyarakat yang bergelut sebagai nelayan atau pelaut. Konskuensi lain dari model penerapan kebijakan pemerintah ini adalah semakin sedikit jumlah orang yang mau meneruskan profesi nenek moyangnya sebagai pelaut karena sudah dianggap sudah tidak menjanjikan kehidupan dan masa depan yang cerah. Ini juga yang akan menambahkan jumlah koleksi lagu sejarah bangsa Indonesia “ Nenek Moyangku Seorang Pelaut …”.

Simpulan dan Rekomendasi
Tingginya tekanan terhadap kawasan pesisir yang terjadi sekaran ini perlu dikaji lebih jauh untuk mengidentifikasi kerusakan-kerusakan yang telah, sedang, dan akan terjadi yang selanjutnya dibuat dalam suatu bentuk profile kawasan pesisir. Peran serta masyarakat dalam pelestarian alam dan lingkungan di sekitar pesisir masih lemah dan sangat perlu ditingkatkan sehingga bisa turut serta dalam mewujudkan visi dan misi yang tertuang dalam profile penegembangan kawasan pesisir dengan baik.

Penerapan dan penegakkan hukum terutama dalam pengeluaran izin pembangunan industri termasuk industri pariwisata harus ditingkatkan. Selain itu perlu adanya pengadopsian konsep pengembangan suatu kawasan pesisir di suatu daerah atau negara yang telah berhasil melestarikan alam kawasan pesisir serta mempererat kordinasi antar lembaga pemerintah seperti AMDAL, Dinas Pariwisata, Dinas Perikanan dan Kelautan, stakeholder pariwisata (industri pariwisata, LSM, masyarakat lokal, wisatawan, dan akademisi) agar bisa bersinergi dalam upaya melestarikan dan menyelamatkan kawasan pesisir di Bali.

Catatan:
Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Umum Bali Post pada hari Kamis 17 januari 2008

Friday, 16 January 2009

Artikel Pariwisata: Tourisme, Teledorisme dan Terorisme di Bali

Oleh: I Nengah Subadra

Sebagai daerah tujuan wisata yang bertaraf internasional yang memiliki keunikan budaya, keindahan alam dan masyarakat yang ramah , Bali telah dikunjungi oleh banyak wisatawan dari berbagai belahan dunia Eropa, Asia, Afrika dan Australia. Pesatnya pertumbuhan pembangunan pariwisata dan jumlah kunjungan wisatawan ke Bali disikapi dengan positif oleh masyarakat lokal dan menganggap fenomena yang terjadi sebagai peluang emas yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejastraannya.

Masyarakat lokal memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata mulai dari perencanaan (planning), pengembangan (development), pengawasan (supervision) dan pengevaluasian (evaluation) program pengembangan pariwisata. Keterlibatan masyarakat lokal yang paling menonjol adalah dalam pengembangan pariwisata, baik pengembangan sarana utama pariwisata seperti akomodasi dan restoran sarana penunjang pariwisata seperti art shop, tempat penukaran uang, toko dan lain-lain; sedangkan peran yang lainnya masih sangat kecil. Adanya beberapa jenis usaha yang digeluti oleh masyarakat lokal tersebut menggambarkan bahwa peran serta masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata dapat ditemukan pada sektor formal dan tidak formal.

Namun, ada beberapa hal penting yang dilupakan oleh masyarakat lokal sehubungan dengan pesatnya pertumbuhan pariwisata di Bali sehingga dapat mengakibatkan gangguan dan bahkan ancaman terhadap keberlanjutan pariwisata Bali. Kesempatan untuk membuka usaha-usaha kecil seperti pedagang kaki lima misalnya, selain memberikan dampak positif berupa sumber penghasilan bagi pedagangnya, tetapi juga memunculkan dampak negatif seperti kemacetan lalu lintas dan lingkungan nampak kumuh. Ini merupakan salah satu bentuk keteledoran pemerintah dan masyarakat lokal yang menganggap remeh permasalahan ini. Jika ini terus dibiarkan, maka lama-kelamaan akan semakin banyak objek-objek wisata yang akan ditinggalkan karena para wisatawan sudah tidak nyaman lagi melihat pemandangan ini.

Contoh keteledoran lain yang dapat dilihat dengan nyata adalah dalam sistem keamanan. Tidak adanya sistem pengamanan yang menyeluruh (holistic) yang melibatkan aparat pemerintah dan masyarakat merupakan salah satu penyebab dari adanya gangguan keamanan dan serangan terorisme. Mobilitas penduduk juga tidak didata dengan baik sehingga tidak diketahui secara pasti indentitas dan tempat tinggalnya. Yang terjadi sekarang ini, aparat Desa Dinas dan Desa Adat yang diwakili Pecalang hanya memungut uang yang jumlahnya cukup besar setiap bulannya kepada penduduk pendatang tanpa mendata lebih jauh identitas penduduk yang bersangkutan. Sehingga sering kali penduduk pendatang menghindar dari pungutan rutin ini. Semestinya, yang lebih penting adalah pendataan indentitasnya untuk mengetahui secara pasti maksud dan tujuannya menetap dalam jangka waktu tertentu di suatu daerah, bukan jumlah uang yang diperoleh dengan dalih untuk kepentingan keamanan.

Melihat fakta ini, dapat dikatakan bahwa sistem keamanan di Bali masih sangat lemah. Buktinya, banyaknya wisatawan asing yang berkunjung untuk menikmati potensi pariwisata Bali tersebut di atas dan berbagai jenis hiburan tradisional serta dunia gemerlap (dugem) dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan cara melakukan tindakan kriminal dan yang memakan korban dalam jumlah yang sangat banyak serta gangguan keamanan yang mendapat kecaman dan kutukan dari hampir semua negara di dunia. Serangan bom yang dilakukan oleh para terorist pada bulan Oktober 2002 contohnya, telah mengakibatkan kerugian material, trauma berkepanjangan, cacat tepat, dan korban nyawa manusia.

Peledakan bom tersebut bukan hanya mendapatkan respon dari pemerintah daerah dan pusat saja, tetapi juga dari negara-negara di dunia khususnya negara yang warga negaranya menjadi korban peledakan. Negara-negara internasional mengutuk keras tindakan anarkis yang dilakukan para teroris tersebut dan beberapa di antaranya mengirimkan bantuan dan pertolongan medis sebagai bentuk simpati terhadap tragedy yang terjadi. Negara Australia misalnya, dengan terbuka negara ini mengulurkan bantuan untuk membantu penanganan para korban yang tidak bisa lagi diobati di rumah sakit yang ada di Bali. Keprihatinan negara asing terhadap peledakan bom tersebut juga dibuktikan dengan adanya negara-negara asing yang mengirimkan bantuan inteligen dan tim forensik yang ahli dalam bidang penginvestigasian dan pengungkapan kasus kejahatan.

Tragisnya peledakan bom tersebut secara langsung berdampak terhadap pariwisata khususnya di Bali. Jumlah keberangkatan (depature) wisatawan di Bandar Undara Internasional Ngurah Rai meningkat dengan pesat. Banyak wisatawan asing segera meninggalkan Bali untuk menghindari serangan bom susulan dan karena rasa takut yang berlebihan. Sebaliknya kedatangan (arrival) wisatawan asing menurun secara drastis karena para calon wisatawan yang akan datang ke Bali membatalkan rencana perjalanan liburannya ke Bali setelah mendengar berita di media massa dan internet bahwa Bali dalam keadaan tidak aman yang dipertegas lagi dengan dikeluarkannya surat-surat seperti saran untuk tidak berkunjung (travel advisory), peringatan berkunjung (travel warning) dan larangan berkujung (travel banned) oleh beberapa negara asing yang warga negaranya menjadi korban dalam tragedi bom tersebut.

Usaha keras pemerintah, industri pariwisata, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, wisatawan dan masyarakat lokal dalam memulihkan kondisi pariwisata di Bali pasca bom Bali I cukup membuahkan hasil. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Bali pada saat diterapkanya program Bali Recovery. Tetapi kemampuan para stakeholders pariwisata tersebut diuji kembali dengan adanya peledakan bom yang kedua kali di Raja’s Cafe, Kuta dan Banega Cafe, Jimbaran yang juga memakan korban harta, benda dan nyawa manusia. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan ada peledakan bom kembali di Bali jika tidak dilakukan perbaikan dalam sistem keamanan dengan segera.

Jadi, untuk menjaga citra dan keberlanjutan pariwisata Bali yang sudah dikenal dengan keunikan budaya, keindahan alam dan keamanan daerahnya maka perlu adanya keterlibatan seluruh stakeholder pariwisata (pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, industry pariwisata, masyarakat dan wisatawan) untuk menjaga kebersihan dan keamanan di Pulau Bali.


Artikel Pariwisata: Tentang Pusat Artikel Pariwisata


Ini merupakan media NON KOMERSIL yang bertujuan untuk menyalurkan ide-ide atau pemikiran tentang pariwisata di Indonesia khususnya perkembangan pariwisata di Bali. Pemikiran tersebut dapat disalurkan melalui tulisan ilmiah berupa hasil kajian empiris dan penelitian.

Artikel-artikel yang ditampilkan merupakan artikel pribadi sewaktu kuliah di Program Pascasarjana Kajian Pariwisata Universitas Udayana dan hasil-hasil pemikiran terkini tentang perkembangan pariwisata serta kontribusi dari teman-teman yang memiliki kompetensi dalam bidang pariwisata, budaya, dan bahasa.

Semua artikel dapat dikopi atau di-download secara gratis sebagai referensi pembuatan paper atau tulisan ilmiah yang lainnya. Tetapi sesuai dengan etika keilmuan, maka dalam penulisan daftar referensi atau daftar pustaka agar tetap mencantumkan sumber informasi.

Kritik dan saran terhadap website ini sangat dibutuhkan. oleh karena itu, kepada para pembaca agar memberi masukan-masukan yang sifatnya membangun sehingga dapat menghasilkan karya yang lebih baik di masa yang akan datang. Terima kasih.

Untuk sementara, semua artikel bisa diakses di www.subadra.wordpress.com


Selamat membaca!

Salam,

I Nengah Subadra, S.S., M.Par.